Beranda | Artikel
Mendakwahi Ahli Kitab untuk Bersama pada Kalimat yang Sama – Tafsir Surah Ali Imran 64
6 hari lalu

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Yahya Badrusalam

Mendakwahi Ahli Kitab untuk Bersama pada Kalimat yang Sama – Tafsir Surah Ali Imran 64 adalah kajian tafsir Al-Quran yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Kajian ini beliau sampaikan di Masjid Al-Barkah, komplek studio Radio Rodja dan Rodja TV pada Selasa, 5 Rabiul Akhir 1446 H / 8 Oktober 2024 M.

Mendakwahi Ahli Kitab untuk Bersama pada Kalimat yang Sama – Tafsir Surah Ali Imran 64

Kita masuk ke Surah Ali ‘Imran ayat 64. Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

“Katakanlah (Wahai Muhammad): “Hai Ahli Kitab, kemarilah (berpegang) kepada suatu kalimat yang tidak sama antara kami dan kalian, bahwa kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan tidak (pula) sebagian kami menjadikan sebagian yang lain sebagai Rabb selain Allah”. Jika mereka berpaling, maka katakanlah (kepada mereka): “Saksikanlah, bahwa kami adalah muslim (yang senantiasa tunduk dan patuh hanya kepada Allah).” (QS. Ali ‘Imran [3]: 64)

Ayat ini menjelaskan agar kita hanya beribadah kepada Allah saja, tanpa mempersekutukan-Nya dengan apa pun. Semua nabi dan rasul memiliki dakwah yang sama, seperti Nabi Musa, Nabi Isa, dan seluruh nabi lainnya, yaitu menyeru umat manusia untuk mentauhidkan Allah. Allah berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ

“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul pada setiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah saja, dan jauhilah Thaghut`” (QS. An-Nahl [16]: 36)

Orang Yahudi dan Nasrani menjadikan rahib dan ulama mereka sebagai tandingan bagi Allah. Allah berfirman:

اِتَّخَذُوْا اَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ

“Mereka menjadikan orang-orang alim (ahli agama) dan rahib-rahib mereka sebagai tandingan-tandingan selain Allah.” (QS. At-Taubah [9]: 31)

Mereka menaati rahib-rahib dalam menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan. Dalam hadits dari Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu, ketika Allah menurunkan ayat tersebut, Adi bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Kami dahulu tidak beribadah kepada mereka.” Rasulullah bersabda:

“Bukankah mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan, lalu kalian pun ikut mengharamkannya? Dan mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan, lalu kalian pun ikut menghalalkannya?”

Adi menjawab, “Betul.” Rasulullah bersabda, “Itulah bentuk ibadah mereka kepada rahib-rahib.”

Faedah pertama, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diperintahkan untuk mendakwahi ahli kitab kepada kalimat yang sama antara kita dengan mereka. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaksanakan perintah ini, seperti ketika beliau mengirim surat kepada Heraklius. Dalam surat tersebut disebutkan:

“Dengan Nama Allah yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang. Dari Muhammad Rasulullah untuk Heraklius, pembesar Romawi.” “Semoga keselamatan dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk, Amma ba’du,”

Masuklah Islam, niscaya kamu akan selamat. Allah akan memberikan pahala kepada-Mu dua kali. Jika kamu tidak mau masuk Islam, maka kamu akan menanggung semua dosa rakyatmu. (Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membawakan Surah Ali ‘Imran ayat 64).

Faedah kedua, menegakkan kebenaran dengan menyebutkan persamaan antara kita dengan lawan kita. Allah berfirman mengenai “kepada kalimat yang sama antara kita dan kalian,” yaitu bahwa kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.

Sebetulnya, agama para nabi sama, yaitu agama tauhid. Heraklius tahu betul bahwa itu adalah kebenaran, demikian pula dengan Najasyi. Najasyi masuk Islam karena dia tahu bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Isa ‘Alaihis Salam adalah agama tauhid, yaitu hanya beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa mempersekutukan-Nya sedikit pun.

Faedah ketiga, wajibnya menggunakan sikap adil dalam berdebat, bahkan dengan musuh. Karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diperintahkan untuk mengumumkan kewajiban ini. Sehingga jika dalam berdebat dengan orang kafir saja kita harus adil dan tidak boleh zalim, bagaimana lagi dalam berdebat antar sesama kaum Muslimin?

Oleh karena itu, termasuk kesalahan besar jika seseorang memiliki pendapat lalu menganggap bahwa pendapat orang lain pasti salah. Yang namanya pendapat adalah hasil dari pemikiran sendiri. Berbeda jika sudah jelas dalam Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’ (konsensus ulama). Siapa pun yang bertentangan dengan Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’ pasti salah. Namun, terkadang ada perkara-perkara yang tidak ada nash yang sharih, atau perkara-perkara yang tidak ada ijma’ di dalamnya, sehingga diperbolehkan adanya ijtihad. Dalam hal ini, kita hanya memilih pendapat yang kita anggap lebih kuat. Selesai.

Adapun menganggap lawan kita sesat atau memastikan dia salah, padahal itu perkara ijtihadiyah, maka ini adalah kesalahan besar. Dalam perkara ijtihadiyah, bisa jadi pendapat yang kita rojihkan lebih lemah daripada pendapat saudara kita. Oleh karena tidak ada nash yang sharih dalam masalah ini, maka termasuk kesalahan besar jika seseorang menganggap pendapatnya yang benar lalu menyalahkan pendapat orang lain. Bahkan, di negeri kita sampai pada tingkat membully, menjelek-jelekkan, atau menjatuhkan orang lain, padahal itu hanya perbedaan pendapat.

Saya pernah menyampaikan bahwa para sahabat tidak pernah memaksakan pendapatnya kepada sahabat yang lain. Sebagai contoh, Syuraih pernah berkata kepada Umar bin Khattab bahwa Ali bin Abi Thalib memutuskan suatu permasalahan begini dan begitu. Apa yang dikatakan oleh Umar? “Kalau aku sebagai qadhi (hakim), aku akan memutuskan berbeda.” Lalu Syuraih bertanya, “Kenapa engkau tidak putuskan saja, engkau kan Amirul Mukminin?” Umar menjawab, “Kalau ada nashnya, aku akan memutuskan, tapi ini hanya pendapat. Sedangkan pendapat itu sekutu.” Lihatlah, Umar sebagai Amirul Mukminin tidak memaksakan pendapatnya kepada Ali bin Abi Thalib.

Ini merupakan manhaj (metode) para sahabat. Sebagaimana sering kali diingatkan, dalam masalah-masalah ijtihadiyah, tidak boleh kita memaksakan pendapat, apalagi memastikan bahwa lawan kita pasti salah.

Oleh karena itu, kita tidak bisa memastikan. Bisa jadi lawan kita yang benar, atau bisa jadi kita yang salah. Dalam hal ini, kita hanya sebatas memilih pendapat yang kita pandang kuat, tentunya dengan argumentasi yang meyakinkan.

Lihatlah para sahabat di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Pernahkah terjadi mereka berbeda pendapat? Iya, tetapi apakah para sahabat memaksakan pendapat satu sama lain? Tidak, kecuali jika sudah jelas-jelas bertabrakan dengan dalil.

Contoh yang menunjukkan perbedaan pemahaman di antara para sahabat terjadi ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah kalian shalat Ashar kecuali di Bani Quraidzah.” Ketika mereka dalam perjalanan, masuklah waktu Ahsar. Di sinilah terjadi perbedaan pemahaman di antara para sahabat.

Sebagian sahabat berpendapat bahwa perintah Rasulullah harus diikuti secara harfiah, yaitu mereka harus shalat Ashar di Bani Quraidzah. Sementara sebagian yang lain memahami bahwa maksud Rasulullah adalah bersegera menuju Bani Quraidzah dan usahakan sampai disana ketika Ashar, tetapi jika waktu Ashar tiba di tengah perjalanan, maka mereka bisa shalat di tempat itu.

Perselisihan ini sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, namun beliau tidak menyalahkan salah satu pihak. Ini menunjukkan bahwa para sahabat berbeda pendapat dalam memahami hadits Rasulullah, tetapi mereka tetap tidak memaksakan pendapat satu sama lain. Rasulullah juga tidak menegur atau menganggap salah salah satu dari mereka.

Meskipun kita yakin bahwa kebenaran di sisi Allah hanya satu, tetapi ada hal-hal yang jelas dan tegas, serta ada yang sifatnya samar. Dalam kasus ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menyalahkan perselisihan di antara para sahabat, dan para sahabat juga tidak memaksakan pendapat mereka terhadap yang lain. Hal ini menunjukkan kefakihan (pemahaman yang mendalam) para sahabat dalam berinteraksi dengan perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Bagaimana pembahasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

Download MP3 Kajian Tentang Mendakwahi Ahli Kitab untuk Bersama pada Kalimat yang Sama – Tafsir Surah Ali Imran 64


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54564-mendakwahi-ahli-kitab-untuk-bersama-pada-kalimat-yang-sama-tafsir-surah-ali-imran-64/